Lasminingrat adalah anak Raden Haji
Moehammad Moesa, seorang perintis kesusastraan cetakSunda, pengarang, ulama,
dan tokoh Sunda abad ke-19. Ia lahir di Garut pada 1843.Lasminingrat
kecil harus berpisah dengan keluarga dan pindah dari Garut ke Sumedang
untukbelajar membaca, menulis, dan tak ketinggalan, mempelajari bahasa
Belanda.Di sana ia diasuh oleh teman Belanda ayahnya, Levyson Norman.
Karena didikan Norman,Lasminingrat tercatat sebagai perempuan pribumi
satu-satunya yang mahir dalam menulis dan
berbahasa Belanda pada masanya. Pada 1871
ia kembali dan menetap di Pendopo KabupatenGarut.Di tahun itu pula,
ia menulis beberapa buku berbahasa Sunda yang ditujukan untuk
anak-anaksekolah. Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Ungkapan ini serasa
pas untukmenggambarkan bakat menulis Lasminingrat yang menurun dari
ayahnya. Adik Lasminingrat,yaitu Kartawinata, juga dikenal sebagai
seorang penulis Sunda.
Buku-buku Lasminingratmerupakan buku untuk
anak-anak sekolah, baik karangannya sendiri maupun terjemahan.Pada 1875 ia
menerbitkan buku Carita Erman yang merupakan terjemahan dari Christoph
vonSchmid. Buku ini dicetak sebanyak 6.015 eksemplar dengan menggunakan aksara
Jawa, lalumengalami cetak ulang pada 1911 dalam aksara Jawa dan 1922 dalam aksara
Latin.Setelah karya tersebut, pada 1876 terbit Warnasari atawa Roepa-roepa
Dongeng Jilid I dalamaksara Jawa. Buku ini merupakan hasil terjemahan dari
tulisan Marchen von Grimm dan JAAGoeverneur, yaitu Vertelsels uit het
wonderland voor kinderen, klein en groot (1872) danbeberapa cerita Eropa
lainnya.
Jilid II buku ini terbit setahun kemudian,
lalu mengalamibeberapa kali cetak ulang, yakni pada 1887, 1909, dan 1912,
dalam aksara Jawa dan Latin.Sungguh mencengangkan jika kita berkaca pada
banyaknya eksemplar cetak mengingat padamasa kini saja, sebagian besar
penerbit buku hanya mencetak buku sebanyak 1.500 sampai3.000 eksemplar untuk
terbitan pertama. Tidak dibayangkan, bagaimana bisa karyanya lakukeras,
sedangkan pada masa itu mungkin masyarakat pribumi masih banyak yang buta
huruf.Yang lebih mencengangkan lagi, karya-karya Lasminingrat mengalami cetak
ulang berkali-kali.Sungguh luar biasa.Terobosan baru yang dicapai
Lasminingrat di dunia kepengarangan adalah penggunaan kataganti orang
pertama.
Mikihiro Moriyama dalam bukunya Semangat
Baru: Kolonialisme, BudayaCetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19 mencatat bahwa
ia merupakan penulis pribumipertama menggunakan kata ganti orang
pertama dalam tulisan berbahasa Sunda. Lasminingrat,tulis Mikihiro, memakai
kata kula yang merujuk kepada saya dalam kata pengantar bukunyaWarnasari
atawa Roepa-roepa Dongeng yang terbit pada 1876. Buku ini merupakan
kumpulanberbagai macam karya terjemahan.Dunia pendidikanSetelah menjadi istri
Bupati Garut RAA Wiratanudatar VIII, Lasminingrat menghentikan
aktivitaskepengarangannya. Ia lalu berkonsentrasi di
bidang pendidikan bagi kaum perempuan Sunda(Moriyama, 2005: 243). Sejak
kecil Lasminingrat bercita-cita memajukan kaum hawa melaluipendidikan.
Obsesinya ini terwujud pada 1907. Ketika
itu ia mendirikan sekolah Keutamaan Istri di ruanggamelan Pendopo Kabupaten
Garut. Di sekolah ini Lasminingrat memakai kurikulum. Tidakdisangka, pada
1911 sekolahnya berkembang. Jumlah muridnya mencapai 200 orang, dan lima kelas
dibangun di sebelah pendopo. Sekolah ini akhirnya mendapatkan pengesahan
daripemerintah Hindia Belanda pada 1913 melalui akta nomor 12 tertanggal
12 Februari 1913. Pada1934, cabang-cabang Keutamaan Istri dibangun
di kota Wetan Garut, Bayongbong, danCikajang.Di sekolah Keutamaan Istri,
murid-muridnya diajari cara memasak, merapikan pakaian,mencuci, menjahit
pakaian, dan segala hal yang ada hubungannya dengan kehidupan berumahtangga.
Tujuannya, supaya kelak saat dewasa
dan menikah, mereka bisa membahagiakan suamidan anak, juga mengerjakan
sendiri apa saja yang berhubungan dengan rumah tangga.Lasminingrat dikenal
sebagai sosok yang peduli terhadap orang lain. Dalam catatan sejarah,
iamerupakan salah seorang tokoh yang mendukung Dewi Sartika untuk mendirikan
sekolah bagikaum perempuan pada 1904.Ini berawal saat Dewi Sartika
kesulitan dalam meminta izin kepada Bupati Bandung RAAMartanagara untuk
mendirikan sekolah. Bupati selalu menolak maksud Dewi Sartika
tersebut.Bukan tanpa alasan Bupati Bandung menolak keinginan Dewi Sartika.Menurut
sejarawan Universitas Padjadjaran, Nina Herlina Lubis, dalam bukunya
KehidupanKaum Menak Priangan, ayah Dewi Sartika diasingkan ke Ternate
lantaran dituduh terlibatpercobaan pembunuhan terhadap Bupati Bandung dan
pejabat Belanda di Bandung, padausianya yang baru sembilan tahun.
Karena peristiwa itu, Bupati Bandung
menganggap DewiSartika adalah anak musuh politiknya. Maka dari itu,
permintaannya selalu ditolak.Melihat hal ini, Lasminingrat turun tangan dengan
bantuan suaminya. Ia meminta suaminyamemberikan saran kepada Bupati
Bandung agar maksud Dewi Sartika yang akan mendirikansekolah terkabulkan.
Setelah berbicara dengan RAA Wiratanudatar VIII, Bupati Bandungmemberi
izin kepada Dewi Sartika. Pada Januari 1904, Dewi Sartika akhirnya
mendirikan SakolaIstri di Bandung. Lasminingrat dan Dewi Sartika
memang sering kali berhubungan layaknyaseorang ibu kepada anak.
Mereka terutama saling memberikan dukungan perjuangan untukmemajukan kaum
perempuan.Lasminingrat dikarunia usia yang sangat panjang.
Ia meninggal dunia pada 10 April 1948
dalamusia 105 tahun setelah sebelumnya dalam perang kemerdekaan ia
mengungsi ke Waaspojokpada 1946. Ia sempat tinggal di sana beberapa lama.
Hingga akhirnya ia sakit danmengembuskan napas terakhir di tanah kelahirannya,
Garut.Kalau RA Kartini dijuluki sebagai pahlawan emansipasi dan Dewi
Sartika sebagai tokohpendidikan, tidak berlebihan jika RA Lasminingrat dijuluki
sebagai tokoh perempuan intelektualpertama di Indonesia karena pikiran-pikiran
kritis dan modernnya telah melampaui zamannya.Semoga tulisan sederhana ini bisa
menjadi inspirasi di Hari Ibu. Selamat Hari Ibu.
Raden Ayu Lasminingrat, Pelopor Dunia
Sastra Sunda Wanita Pertama
Empat tahun sebelum Raden Dewi Sartika lahir, Raden
Ayu Lasminingrat sudah fasih menulis buku untuk bacaan anak-anak sekolah.
Ketika R.A. Kartini lahir tahun 1879, Raden Ayu Lasminingrat sudah
menerjemahkan dan menerbitkan buku-buku yang dijadikan buku bacaan wajib di
HIS, Schakelschool, dan lain-lain, hingga akhir masa penjajahan Belanda.
Raden Ayu Lasminingrat lahir tahun
1843, putri seorang Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda yang terkenal pada
zamannya, yaitu Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Setelah itu lahir
pula dua orang adik perempuan yang seibu se-ayah, yaitu Nyi Raden Ratnaningrum
dan Nyi Raden Lenggang Kencana. Dalam sebuah buku kajian tentang perjuangan
Raden Ayu Lasminingrat karya Prof. Dr. Hj. Nina Lubis, M.S., diutarakan bahwa
Raden Haji Muhamad Musa sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Ia
menghendaki putri-putrinya yang berjumlah 17 orang dari beberapa isteri itu,
bersekolah di sekolah Belanda.
Oleh karena saat itu belum ada sekolah
semacam itu di Garut, maka Raden Haji Muhamad Musa mendirikan sekolah Eropa
(bijzondere Europeesche School) dengan menggaji dua orang guru Eropa. Di
sekolah ini orang Eropa (Belanda) dapat bersekolah bersama-sama dengan
anak-anak pribumi, juga anak laki-laki bercampur dengan anak-anak perempuan.
Alhasil, kemampuan Raden Ayu
Lasminingrat dalam berbahasa Belanda sangat fasih, bahkan Karel Frederick
Holle, seorang administrator di Perkebunan Teh Waspada, Cikajang, memujinya.
Pujian itu dinyatakan dalam surat Holle kepada P.J. Veth, antara lain
menyebutkan Bahwa: “Anak perempuan penghulu yang menikah dengan Bupati Garut,
menyadur dengan tepat cerita-cerita dongeng karangan Grimm, cerita-cerita dari
negeri dongeng (Oleg Goeverneur), dan cerita-cerita lainnya ke dalam bahasa
Sunda” (Moriyama, 2005:244).
K.F. Holle memang sangat dekat dengan
anak-anak Raden Haji Muhamad Musa,termasuk dengan Lasminingrat, bahkan tak
segan-segan, Lasmingrat “nembang” di depan K.F. Holle, yang kadang dipanggil
sebagai “Tuan Kawasa” (lubis, 1998). Peranan K.F. Holle dalam merevitalisasi
bahasa Sunda sangat besar, terbukti dengan menerbitkan buku-buku dalam bahasa
Sunda, memberikan dorongan kepada kaum menak untuk menuliskan karya-karya
mereka dan menerbitkannya. Dalam buku tersebut diceritakan, Lasmingrat juga
terlibat dalam “proyek” menyusun buku-buku pelajaran Sunda dengan diberi biaya
f. 1200 dari Pemerintah Belanda.
Pada tahun 1875, Raden Ayu berhasil
menerjemahkan ke dalam bahasa Sunda, karya Christoph von Schmidt, Hendrik van
Eichenfels, versi Belanda diterjemahkan dari bahasa Jerman tahun 1883. Judulnya
menjadi Tjarita Erman yang ditulis dalam aksara Jawa, dicetak 6.015 eksemplar.
Kemudian pada tahun 1911 terbit edisi dua, juga dalam aksara Jawa. Dan tahun
1922, terbit edisi ketiga, ditulis dalam aksara Latin.
Selanjutnya, tahun 1876, Lasminingrat
menulis buku Warnasari atawa Rupa-rupa Dongeng, yang diterjemahkan dari karya
Marchen von Grimm dan J.A.A Goeverneur, Vertelsels uit het Wonderland voor
Kinderen, Klein en Groot (1872), dan beberpa cerita lainnya, ditulis dalam
aksara Jawa. Tahun 1903 dan 1907 terbit edisi dua dan tiga. Tahun 1887, menulis
Warnasari, Jilid 2 ditulis dalam aksara Latin, selanjutnya dicetak edisi kedua
tahun 1909.
Bakat Raden Ayu Lasminingrat dalam
mengarang, tak pelak lagi diwarisi dari ayahnya yang juga seorang sastrawan
terkemuka, yang menghidupkan kembali bahasa Sunda di kalangan menak Sunda,
termasuk warisan bakatnya diturunkan kepada Raden Kartawinata dan Raden Ayu
Lenggang Kencana. Dari beberapa karyanya, Raden Ayu Lasmingrat dalam membuat
terjemahan dengan cara menyadur sehingga cerita asing itu menjadi “membumi”,
antara lain nama-nama para tokoh yang berbau pribumi (misalnya : “Erman”, “Ki
Pawitra”) atau memberi warna Islami. Selain itu, dalam karyanya mencoba
menanamkan rasionalisme dalam dunia pribumi yang masih beralam tradisional yang
diwarnai takhayul. Tidak hanya itu, raden Ayu Lasminingrat juga mengedepankan
soal pengetahuan dasar, baik itu tentang ilmu pengetahuan alam yang sangat
dasar tentang sumber air (mata air, hujan), tentang cahaya (matahari dan
lampu), tumbuh-tumbuhan, termasuk bagaimana mengajarkan tentang ke-Tuhan-an.
Raden Ayu Lasmingrat pun adalah pengarang wanita
pertama dalam bahasa Sunda, yang menggunakan kata ganti orang pertama. Ia
memakai kata “Koela” (artinya “saya”). Biasanya pada saat itu para pengarang
menggunakan kata ganti orang ketiga dalam karangan-karangannya. Ini menunjukkan
bahwa Raden Ayu Lasminingrat, meski memiliki hubungan erat dengan orang-orang
Belanda, namun ia bisa menunjukkan integritasnya sebagai seorang pribadi
intelektual, sekaligus kepeloporannya dalam dunia satra.
Peran Raden Ayu Lasmingrat dibuktikan dengan
didirikannya Sakola Kautamaan Istri tahun 1907, dengan mengambil tempat di
ruang gamelan Pendopo Garut. Kemudian seiring dengan pergantian nama Kabupaten
Limbangan menjadi Kabupaten Garut Tahun 1913. Dua tahun setelah pergantian
nama, R.A.A. Wiaratanudatar VIII pensiun, setelah menjadi bupati sejak tahun
1871. Jabatan Bupati Garut kemudian dipangku oleh R.A.A. Suria Kartalegawa,
yang masih terhitung keponakannya. Akhirnya Raden Ayu Lasmingrat pindah dari
pendopo ke sebuah rumah di Regensweg (sekarang Jalan Siliwangi). Rumah yang
besar ini (sekarang menjadi Yogya Department Store). Hingga usia 80 tahun ia
masih aktif, meskipun tidak langsung dalam dunia pendidikan.
Pada masa pendudukan Jepang, Sakola Kautamaan Istri
itu diganti namanya menjadi Sekolah Rakyat (SR) dan mulai menerima laki-laki.
Sejak tahun 1950, SR tersebut berubah menjadi SDN Ranggalawe I dan IV yang
dikelola Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Daerah Tingkat II Garut.
Tahun 1990-an hingga kini berubah lagi menjadi SDN Regol VII dan X.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar